Silahkan Melihat Karya-Karya yang Ada Pada Kami

Jumat, 16 Oktober 2009

Buku : "Absurditas Manusia Jakarta"

Di Jakarta berbagai hal dapat terjadi, mulai dari hal yang masuk akal, sampai hal-hal yang membalik-balikan logika. Hal inilah yang kemudian menjadi ciri manusia Jakarta atau yang dalam buku ini diistilahkan sebagai Homo Jakartensis.

Secara umum manusia Jakarta memang tidak beda dengan manusia yang hidup di kota-kota lain. Jika manusia Jakarta minum kopi, manusia di Wonosari juga tidak sedikit yang gemar ngopi. Jika manusia Jakarta mandi memakai sabun, toh manusia di Ciranjang pun mandi memakai sabun.

Namun yang membedakan manusia Jakarta dengan manusia di kota lain adalah cara dalam memaknai kegiatan fungsional tadi, ngopi misalnya. Bagi manusia Jakarta, minum kopi tidak sekadar menyeruput minuman berwarna hitam kecoklatan itu, tetapi di sana juga terdapat selera, cara memilih dan jugasoal citra

Salah satu contoh yang dikedepankan oleh Seno untuk menandai fenomena ini adalah hal makan. Makan bukan sekadar makan enak sesuai selera dan sekaligus mengenyangkan, tetapi juga memiliki makna simbolik. Makan di warung tenda yang menyajikan masakan Sunda, jelas berbeda dengan makan di restoran Dapur Sunda yang ber-AC dengan pelayan-pelayan yang ramah.

Akibatnya, kalau mau pamer, mengajak seluruh keluarga untuk pesta makan, siapkanlah uang sebanyak-banyaknya. Tetapi, kalau ingin makan dengan selera sendiri, meskipun masih memakai dasi, berpanas-panas di warung tenda pun jadi.

Kemudian soal mobil. Mobil ternyata tidak melulu alat transportasi, namun juga merupakan prestise, sebuah identitas bagi pemiliknya. Kehormatan pun diterjemahkan pada simbol mobil tersebut. Tidak heran jika bemper mobil tersebut lecet atau penyok karena terserempet, maka seakan-akan ikut lecet dan penyok pula harga diri dan kehormatan pemiliknya.
Padahal itulah fungsi bemper, yakni untuk menahan agar benturan dari mobil lain tidak langsung mengenai body mobil. Bukankah sebaiknya bemper yang penyok dari pada body mobil yang penyok.

Dari beberapa contoh peristiwa di atas tampak bagaimana citra, nilai dan gaya menjadi hal yang penting bagi manusia Jakarta. Uniknya proses ini terus menerus berputar selama manusia Jakarta itu ada. Dengan citra dan gaya inilah berbagai persoalan dapat diselesaikan dengan mudah.

Dalam dunia bisnis misalnya, memperlihatan citra bonifide perusahaan menjadi elemen yang sangat penting. Tidak heran jika sebuah kantor dengan sengaja membeli lukisan berharga ratusan juta rupiah untuk dipasang di lobby kantor agar timbul kesan direktur perusahan tersebut adalah orang yang tahu banyak soal seni.

Di dalam buku ini Seno memang seolah ingin menelanjangi manusia-manusia Jakarta. Ia seperti ingin menunjukkan di balik penampilan manusia Jakarta yang bekesan megah, mewah, dan gemerlap justru terdapat kekacauan, keanehan, dan disoreintasi yang kronis.
Kumpulan kolom ini adalah mengenai absurditas manusia Jakarta. Apakah absurditas ini adalah sesuatu yang salah atau keliru? Seno tidak secara terang-terangan mengatakannya, namun paling tidak ia mengajak pembaca untuk melihat sebuah gejala sosiologis yang terjadi pada manusia Jakarta.***





Oleh : Nigar Pandrianto

Buku : "Catatan Perempuan Wartawan Di Tengah Konflik Timtim"


Judul: Timor-Timur, Satu Menit Terakhir
Penulis: CM Rien Kuntari
Penerbit: Mizan Pustaka, Bandung
Cetakan: November 2008
Tebal: 483 halaman

Peristiwa lepasnya Timor Timur (Timtim) dari Indonesia diwarnai berbagai konflik, baik secara politik maupun sosial. Bahkan konflik tersebut berujung pada pertumpahan darah. Hal yang mengusik keingintahuan adalah, bagaimana seorang juru warta harus bersikap di tengah konflik tersebut.


Itulah yang dicoba disampaikan buku ini. Penulisnya, CM Rien Kuntari, tidak hanya mengisahkan berbagai peristiwa yang terjadi di Timtim baik menjelang maupun sesudah jajak pendapat, tetapi juga bagaimana ia sebagai seorang wartawan harus bertindak dan bersikap di tengah pihak-pihak yang sedang bertikai.


Dalam buku ini, Rien menyampaikan banyak pengalamannya selama melakukan tugas jurnalistiknya yang mungkin tidak pernah ia tulis dalam pemberita. Salah satu alasannya adalah untuk meredam konflik ataupun gesekan sosial yang semakin melebar. Sebab, seperti dikisahkan Rien, tulisan dalam media dapat mengubah sikap kelompok-kelompok tertentu di Timtim dalam sekejap. Kemarahan kelompok pro-integrasi dan pro-kemerdekaan dapat terpicu setelah mengetahui tulisan yang dimuat di dalam media.


Bahkan tidak jarang tulisan tersebut dapat memunculkan tuduhan dan "cap" tertentu pada sebuah media, misalnya media yang mendukung integrasi, atau media yang justru mendukung kemerdekaan Timtim. Bahkan, karena hal itu, acap kali wartawan dari media yang bersangkutan menjadi sasaran kemarahan kelompok-kelompok yang bertikai.
Rien misalnya pernah menjadi target kemarahan pasukan milisi. Kelanjutannya, muncul skenario untuk menculik dan "menghabisi" wartawan Kompas (penulis adalah wartawan harian Kompas) tersebut. Menurut informasi yang ia dapat, rencana tersebut dikeluarkan dalam rapat tertutup antara pihak pro-otonomi yang melibatkan pasukan Aitarak dan FPDK (Forum Persatuan Demokrasi dan Keadilan).


Di mata kelompok pro-integrasi Rien merupakan wartawan yang telah melakukan dosa yang tidak terampuni, yakni memberikan berita yang seimbang dalam pemberitaan untuk pihak pro-kemerdekaan. Bahkan kepiawaian Rien dalam menjalin hubungan pihak-pihak pro-kemerdekaan telah memunculkan tuduhan dirinya bukan seorang nasionalis. Hal ini menguat ketika Kompas menurunkan laporan tentang Falintil dan wawancara khusus dengan Taur Matan Ruak dalam tiga halaman penuh pada HUT Falintil ke-24.


Padahal Rien sendiri hanya melakukan profesinya sebagai wartawan secara profesional, yakni tidak memihak pada salah satu kubu yang sedang berseberangan secara kepentingan. Namun di lapangan, seperti di wilayah konflik, kenetralan ini dapat diartikan lain. Dengan begitu, seorang wartawan memang dituntut lebih peka lagi dalam melakukan kegiatannya di wilayah tersebut.
Teror dan intimidasi terhadap wartawan memang hal yang biasa terjadi di Timtim pada masa sekitar jajak pendapat. Salah satu korban yang dicatat oleh Rien adalah wartawan Financial Times biro Jakarta, Robert Thoenes. Menurut Rien, wartawan itu tewas terbunuh dengan sayatan di seluruh bibir dan sebagian wajahnya.


Hal lain yang menarik dari buku ini adalah keterusterangan Rien dalam mengungkapkan fakta yang ditemuinya di Timtim, misalnya saja ia mengisahkan bagaimana kekejaman kaum milisi menghabisi rombongan misonaris yang hendak pergi ke Los Palos dari Baucau. Peristiwa ini terjadi sekitar bulan September 1999. Pada saat itu, sembilan orang tewas dengan menyedihkan, di antara para misionaris terdapat seorang sopir, dua orang pemudi, dan satu orang wartawan.


Rien sendiri mengakui, ketika dirinya menjadi target pembunuhan kaum milisi, ia mengalami ketakutan yang luar biasa. Sebagai manusia biasa, ia juga merasakan kengerian ketika warga Timtim yang sebelumnya tampak ramah, tiba-tiba berbalik menjadi tidak bersahabat dan bahkan menampakkan sikap permusuhan. Bahkan sebelumnya ia juga sempat dihadang moncong pistol yang dihadapkan ke arah kepalanya dari jarak dekat.


Namun, nalurinya sebagai wartawan tidak menyurutkan ia untuk kembali ke Timtim. Ia seperti merasa "gatal" jika hanya memantau perkembangan situasi di Timtim dari Jakarta. Ia merasa harus langsung berada di Timtim untuk melihat apa saja yang sebenarnya terjadi di wilayah itu, ketimbang mengutip dari berbagai media asing dengan berbagai versi.


Itu sebabnya, ketika INTERFET (International Force for East Timor) yang dikomandani Australia memintanya untuk kembali ke Timtim pada pertengahan Oktober 1999, ia langsung menyambutnya. Apalagi hal ini didukung oleh atasan Rien di harian tempatnya bekerja.
Mengenai hal ini, Rien menuliskan, bahwa pada akhirnya INTERFET membutuhkan media juga untuk mengimbangi pemberitaan negatif mengenai Australia. Padahal sebelumnya wartawan Indonesia betul-betul mengalami perlakuan diskriminasi dari pasukan tersebut.


Memang, persoalan Timtim tidak lepas dari persoalan hubungan antara Australia dan Indonesia. Sejak pasukan INTERFET tiba di Indonesia, hubungan kedua negara ini selalu memanas. Hal ini tidak lepas dari sikap Australia yang arogan terhadap Indonesia. Hal ini bahkan menyulut protes dari Indonesia.


Salah satu kasus yang memicu ketegangan antara Indonesia dan Australia adalah operasi rahasia yang dilakukan oleh Australia di wilayah Timtim. Meskipun hal ini diprotes oleh pihak TNI, namun pihak Australia tetap tidak ambil pusing. Pada perkembangan berikutnya, aksi Australia ini mengundang kemarahan sejumlah negara, termasuk Amerika. Kemarahan Amerika tersebut dipicu oleh keengganan Australia untuk membagi hasil dari operasi rahasia tersebut.


Hal lain yang menarik dalam buku ini adalah bagaimana sebagai seorang wartawan Rien memiliki tanggung jawab yang tidak sekadar menuliskan berita secara netral tetapi berpikir dengan spektrum ataupun kepentingan yang luas. Misalnya saja ketika ia menghadiri homili Uskup Mgr Filipe Ximenes Belo, SDB pada misa penutupan bulan Oktober, atau bulan devosi kepada Bunda Maria.


Dalam khotbahnya ketika itu, uskup justru menjelek-jelekkan Indonesia. Bahkan secara terang-terangan ia menyerang kaum milisi dengan menyatakan kaum milisi harus "mencuci tangan yang berlumuran darah", dan menebus dosa yang telah diperbuatnya secara setimpal.
Khotbah tersebut disampaikan secara berapi-api seakan tidak satupun kebaikan di pihak Indonesia. Padahal ketika kekacauan di Timtim memuncak justru dialah yang lari meninggalkan umatnya di Timtim, dan misionaris Indonesialah yang tetap berada di Timtim.


Isi khotbah tersebut membuat Rien bertanya-tanya, apakah benar ia tengah mendengar khotbah dari seorang penerima Nobel Perdamaian? Jika menuruti keinginan hati, mungkin Rien ingin menuliskan apa yang didengarnya itu ke dalam berita. Namun pada saat itu ia teringat kepada Xanana, Taur Matan Ruak, dan Falur Rate Laec. Ketiga tokoh Timtim yang tidak pernah lepas dari senjata itu justru selalu meniupkan angin perdamaian, rekonsiliasi dan perdamaian.
Akhirnya, Rien memilih memihak kepada Xanana dan kawan-kawannya. Ketimbang menuliskan berita yang berisi ucapan menyakitkan dari sang uskup yang mungkin akan menyulut gesekan yang lebih luas, baik ia menuliskan berita yang lebih menyejukkan setiap pihak. Sebab dengan begitu perdamaian di Timtim akan lebih mudah terwujud.


Secara garis besar, dalam buku ini dapat dilihat bagaimana seorang wartawan menjalankan tugasnya. Wartawan tidak hanya dituntut untuk memiliki kepiawaian dalam menjalankan profesinya, serta keberanian dalam menghadapi situasi yang paling ekstrem, tetapi juga mempunyai hati untuk menentukan keutamaan. Virtus in medio, keutamaan itu ada di tengah.****



Oleh : Pandrianto

Buku : "Melihat Berbagai Dimensi Peristiwa Dengan Humor"


Judul : Presiden Guyonan
Penulis : Butet Kartaredjasa
Tebal : xxiv + 285 halaman
Penerbit : Kitab Sarimin, Yogyakarta,
Terbit : November 2008


Sebuah surat kabar memuat ratusan berita setiap harinya. Berbagai peristiwa dihadirkan ke hadapan pembaca.secara bertubui-tubi. Isu demi isu terus berganti setiap minggunya. Nyaris tidak ada isu yang dapat bertahan lama. Pembaca pun seperti mengalami amnesia isu.
Ini adalah konsekuensi dari media massa yang selalu mengutamakan aktualitas. Aktualitas dan kecepatan menyiarkan sebuah berita menjadi menjadi sebuah keharusan. Padahal kedalaman sebuah berita juga diperlukan agar dimensi-dimensi dari sebuah berita dapat ditangkap oleh pembaca.

Oleh sebab itu, harus ada sebuah cara agar isu-isu yang mengemuka di media masa tidak terlindas begitu saja oleh isu-isu lain yang terus menjejali ruang pikiran pembaca. Cara ini harus dapat mengajak pembaca untuk melihat dimensi-dimensi lain dari sebuah peristiwa, merenungkan, merefleksikan, dan bahkan menginterpretasikannya
Untuk itulah sebuah kolom hadir di surat kabar. Kolom tidak hadir dengan perhitungan kecepatan dan aktualitas, meskipun persoalan yang dikemukakan dapat saja merupakan sesuatu yang aktual, tetapi selalu mengajak pembaca untuk sejenak melongok peristiwa tersebut dan memberikan diri untuk merenungkannya.
Tentu saja, untuk mencapai hal ini kolom harus hadir dengan format dan caranya yang berbeda dan khas. Di sinilah kepiawaian seorang penulis kolom dibutuhkan, dan Butet Kartaredjasa telah memilih caranya sendiri untuk mengajak pembaca melihat secara reflektif realitas yang ada di sekitarnya.

Untuk mengajak pembaca merenungkan persoalan atau fenomena yang terjadi dalam masyarakat, Butet menghadirkan tulisan-tulisan yang dapat mengundang pembaca tersenyum atau bahkan tertawa. Kolom-kolomnya tidak hadir dengan cara yang memberat karena ia tahu, apabila persoalan yang disampaikannya saja sudah berat, maka tidak perlu lagi memberikan beban kepada pembaca dengan menghadirkan tulisan-tulisan yang sulit diicerna. Di sinilah letak salah satu kekuatan kolom-kolom ini.
Kelebihan lain kolom-kolom Butet yang pernah dimuat di harian Suara Merdeka di Semarang ini adalah hadirnya tokoh Mas Celathu bersama anggota keluarganya, yakni Mbakyu Celathu, istrinya, serta anak-anaknya. Lewat tokoh-tokoh inilah Butet menyajikan isu-isu penting yang mungkin terlupakan dalam dinamika kerja sebuah media.
Namun tokoh sentral Mas Celathu memang sangat dominan dalam kolom-kolom Butet ini. Lewat sosok inilah Butet menyampaikan buah pikirannya. Tokoh ini digambarkannya sering muncul dengan kegelisahan-kegelisahan, kegeraman-kegeraman, dan bahkan dengan kebingungan-kebingungannya sendiri, yang merupakan respon dari apa yang dilihat dan dicermati dari lingkungannya.

Mas Celtahu juga bukan hanya sosok sederhana yang terkadang terkesan selalu bebas berbicara, tukang njeplak, dan tajam dalam mengritik, tapi juga sering muncul dengan gagasan yang melawan mainstream. Sebut saja ketika ia bicara soal gay dan lesbian dalam kolomnya yang berjudul Psikopat Anyar. Dalam tulisan ini dikisahkan bagaimana Mas Celathu mencoba meluruskan anggapan umum masyarakat mengenai para gay dan lesbian yang terlanjur diberi cap negatif. Mas Celathu digambarkan mengajak masyarakat untuk menghargai keberadaan kelompok ini. Gay dan lesbian tidak selalu identik dengan pembunuhan kejam, mutilasi atau berbagai kejahatan lain. Justru mereka yang berprofesi mulia, dijangkiti sindrom psikopat.

Tidak hanya itu, Mas Celathu pun acap kali tergoda dan ”gatal” untuk memberikan komentar, tanggapan, pujian ataupun ejekan dari apa yang ditemuinya dalam kehidupan sehari-hari. Ini sesuai dengan istilah celathu, yang dalam bahasa Jawa dapat berarti nyeletuk, menyahut, atau "menyambar" omongan orang lain. Alhasil, dengan cara yang jenaka, pentolan teater Gandrik ini, mengritik dan mengolok-olok berbagai kejadian atau keadaan yang menurutnya tidak tepat, melanggar aturan, ataupun keliru sama sekali.
Tetapi Butet tidak selalu memoisisikan Mas Celathu sebagai pengritik yang selalu bersih sehingga seakan-akan punya otoritas menunjuk kesalahan orang lain alias menghakimi. Di sisi lain justru ia menghadirkan Mas Celathu sebagai sosok yang manusiawi, yang sering khilaf, berbuat kekliruan, yang terkadang justru terjebak dalam kondisi atau persoalan yang sebelumnya sering ia kritik.

Simak saja di kolom berjudul Isteri Bernyali. Dalam kolom ini dikisahkan Mas Celathu tergoda untuk "berbisnis" di lokasi yang tertimpa bencana alam. Ia melihat di lokasi bencana alam inilah ia bisa meraup keuntungan dengan berdagang berbagai benda yang dibutuhkan oleh mereka yang tertimpa bencana alam. Namun ide tersebut dimentahkan begitu saja oleh sang istri. Sang istri menilai gagasan tersebut tidak etis karena mencari keuntungan di atas kesusahan orang lain. Diserang seperti itu, Mas Celathu pun mengkeret tak berkutik. Rupanya Mas Celathu yang doyan memarahi penguasa pun bisa tunduk terhadap istrinya.

Salah satu kelebihan kolom-kolom dalam Presiden Guyonan ini adalah bagaimana Butet memakai istilah-istilah dalam bahasa Jawa. Ini wajar saja, sebab kolom ini memang hadir di tengah-tengah masyarakat yang menggunakan bahasa Jawa. Tetapi toh persoalan yang disampaikan bukan persoalan primordial, tetapi persoalan yang lebih luas lagi spekttrumnya, persoalan. Penggunaan istilah dalam bahasa Jawa justru membuat kolom ini lebih hidup, lebih "berbumbu" sehingga unsur humor yang dibangun di dalamnya lebih kental. Mereka yang tidak terlalu paham bahasa Jawa dapat melihat arti atau makna dari istilah-istilah tersebut di bagian akhir buku ini.

Penggunaan istilah dalam bahasa Jawa yang dilakukan oleh Butet tersebut, mengingatkan kita kepada kolom-kolom almarhum Umar Kayam yang dimuat di harian Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta. Dalam kolom-kolom tersebut Umar Kayam juga menggunakan istilah-istilah Jawa yang begitu mengena. Dengan istilah-istilah itu justru sendirian, ejekan, ataupun kritik yang dilontarkan menjadi lebih "ciamik" untuk dinikmati.

Catatan lain dari kolom-kolom Butet ini adalah, ia menggunakan "logika terbalik" untuk memaknai masalah-masalah yang ditulis. Hal yang dimaksudkan di sini adalah, apabila sebuah persoalan dipandang serius, seseorang cenderung merseponnya dengan serius pula. Bahkan, sejumlah teori Barat--baik teori politik, ekonomi atau sosial--digunakan untuk memaknai dan mencarikan jalan keluar dari persoalan yang ada.

Namun tidak demikian dengan Butet. Dalam kolom-kolomnya ini, ia justru merseponnya dengan cara yang ringan, sederhana, bahkan cenderung melucu. Persoalan-persoalan yang ada selalu dihampirinya dengan cara yang membuat orang tergelitik. Inilah yang dimaksudkan "logika terbalik". Sesuatu yang tampak serius, ”angker” atau bahkan elit, di kolom-kolom justru diresponnya hanya dengan tertawa. Di sini Butet seperti ingin mengajak pembaca menghampiri setiap masalah dengan cara yang terbalik. Ia seperti ingin berkata, buat apa susah-susah merunyamkan pikiran hanya karena memikirkan persoalan yang sudah terlalu ruwet. Lebih baik hadapi saja dengan senyum. Buat apa mengerutkan dahi karena melihat kesedihan yang terlampau menyedihkan, lebih baik tertawa saja agar kesedihan itu lebih dapat dapat terobati.***


Oleh : Nigar Pandrianto

Buku : "Nasihat-Nasihat Cinta"


Pengarang: Adek Alwi
Penerbit: PT Kutubuku Sampurna
Cetakan 1: Juni 2009
Tebal: 217 hal
Ukuran: 20 X 13,5 cm
Harga: Rp. 40.000,-


Angan-anganku untuk mendapatkan seorang pacar yang manis, lembut, dan tanpa harus melakukan tipuan-tipuan untuk memilikinya akhirnya tercapai juga. Padahal sebelumnya aku hampir dan bahkan mulai terjerumus melakukan tipuan-tipuan, seperti yang sering dinasihatkan sahabatku Darlis Caniago.

Tiap kali datang dan melihat aku duduk termangu-mangu Darlis Caniago memang selalu memberiku nasihat-nasihat. Kadang-kadang nasihatnya itu terasa berlebih-lebihan, tak masuk akal, atau amat gombal. Namun aku juga tak pernah mampu untuk tidak mendengarnya. Waktu itu aku berada pada posisi orang yang memerlukan nasihat, advis, saran, petunjuk, atau pun dorongan-dorongan moril. Karena sudah lama aku berangan-angan mendapatkan seorang gadis, namun sampai sejauh itu aku tetap saja sendiri. Padahal teman-temanku sudah sukses semua dalam masalah ini. Darlis sendiri bahkan telah belasan kali ganti-ganti pacar.

“Pacar itu ibarat pakaian,” ujarnya memberikan alasan, dan sekaligus menasihatiku. “Kita tak bisa memakai pakaian yang itu-itu terus selamanya.” (Intro cerpen Nasihat Cinta)

Nama Adek Alwi bukan nama asing bagi penggemar cerita pendek., terutama di kalangan remaja. Buku ini memuat 20 cerita pendeknya yang khusus ditujukan untuk anak-anak remaja belasan tahun.
Saut Poltak Tambunan, pengarang novel terkemuka, mengakui dalam soal cerita cinta remaja, Adek Alwi seperti ikan masuk sungai. Adek tidak hanya menari-nari di permukaan. Adek tahu persis semua makhluk penghuni sungai, tahu mana lubuk, mana arus, mana keruh dan bening, bahkan jerat bubu jala dan sekalian umpan pancing segala. "Baca buku ini, biar tahu mana ikan mana ‘ikan-ikanan'" tulisnya.

Buku ini tersedia di TB Gramedia di kota Anda. Atau bisa diperoleh di bookoopedia.com, atau bukusampurna.com.***




Oleh : www.kompas.com

Novel : "Maryamah Karpov"

Judul: Maryamah Karpov
Penulis: Andrea Hirata
Penerbit: Bentang Pustaka
Cetakan: November 2008
Tebal: 504 halaman + xii






Maryamah Karpov, buku terakhir dari tetralogi Laskar Pelangi karangan Andrea Hirata telah terbit. Apakah buku tersbut dapat menyaingi kesuksesan buku-buku sebelumnya? Ada baiknya kita lihat dulu resensinya. Resensi berikut bukan suatu yang mutak harus diterima semua kalangan, melainkan hanya sebagai patokan untuk para pembacanya.



Benarkah kekuatan cinta mampu membuat manusia melakukan hal-hal di luar kewajaran sekaligus 'sinting' di mata orang-orang sekeliling? Di dalam novel Maryamah Karpov yang merupakan buku ke-4 dari Tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata ini akan kalian dapatkan jawabnya. Buku ini menceritakan usaha Ikal sebagai tokoh sentral di dalam Tetralogi Laskar Pelangi untuk menemukan belahan jiwanya: A Ling. Setelah melanglang buana ke sana ke mari tanpa pernah menemukan petunjuk keberadaan A Ling rupanya Ikal tak pernah putus asa, ia terus mencari dan mencari tambatan hatinya itu.

Di bagian awal buku diceritakan secara flashback kenangan masa kecil Ikal bersama keluarganya di Belitong. Sosok ayahnya yang pendiam tapi penuh kasih kepada keluarganya nampaknya memiliki porsi yang istimewa di buku ini. Sosok ayah ini pula yang menginspirasi Ikal untuk tidak menyerah pada nasib bahkan melecut semangatnya dalam mewujudkan mimpi-mimpi. Dalam salah satu bagian Andrea mengungkapkannya seperti ini:
"Jika dulu aku tak menegakkan sumpah untuk sekolah setinggi-tingginya demi martabat ayahku, aku dapat melihat diriku dengan terang sore ini; sedang berdiri dengan tubuh hitam kumal, yang kelihatan hanya mataku, memegang sekop menghadap gunungan timah, mengumpulkan napas, menghela tenaga, mencedokinya dari pukul delapan pagi sampai magrib, menggantikan tugas ayahku, yang dulu menggantikan tugas ayahnya. Aku menolak semua itu! Aku menolak perlakuan buruk nasib kepada ayahku dan kepada kaumku. Kini Tuhan telah memeluk mimpiku. Atas nama harkat kaumku, martabat ayahku, kurasakan dalam aliran darahku saat nasib membuktikan sifatnya yang hakiki bahwa ia akan memihak kepada para pemberani."

Dikisahkan pula saat-saat terakhir Ikal menyelesaikan studinya di Perancis dan perjalanan kembali ke tanah air, serupa peribahasa 'setinggi-tinggi bangau terbang, akhirnya hinggap ke pelimbahan (kubangan) juga', seperti itulah yang dialami Ikal. Sejauh apa ia mampu mencapai sudut-sudut dunia dan memasuki pergaulan lintas bangsa toh akhirnya harus menerima kenyataan kembali ke lingkungan asal yang bersahaja. Di sini timbul ironi bahwa ilmu tingkat tinggi yang diperoleh dengan susah payah di Perancis ternyata tak membawa pengaruh signifikan bagi dirinya juga kampung halamannya.

Kembali ke kampung halaman berarti berbaur dengan kultur nenek moyangnya. Serasa menemukan kembali mozaik-mozaik kenangan lama. Dengan gamblangnya bisa kita ketahui kebiasaan-kebiasaan orang Melayu Belitong, diantaranya adalah kebiasaan membual dan melebih-lebihkan cerita. Juga kebiasaan menyematkan nama baru di belakang nama asli, semata-mata untuk mengolok-olok bahkan merendahkan martabat yang empunya nama. Coba simak nama-nama unik berikut: Mahmuddin Berita Buruk, mendapatkan nama belakang seperti itu lantaran pekerjaannya sebagai tukang menyiarkan berita kematian lewat toa. Atau Marhaban Hormat Grak karena kebiasaannya menjadi komandan pasukan baris-berbaris di acara tujuh belasan, serta lebih banyak lagi nama-nama kocak lainnya lengkap dengan latar belakang diperolehnya nama tersebut. Tampaknya Andrea Hirata berhasil mengekspos sisi ini menjadi sebuah guyonan yang membikin pembaca tergelak.

Yang paling mengesankan adalah pertemuan kembali dengan teman-teman lamanya yang tergabung dalam Laskar Pelangi. Mereka kini telah tumbuh dewasa dan masing-masing telah menemukan hidupnya. Sebuah ironi kembali dirasakan Ikal. Para sahabat Laskar Pelangi ini tak pernah pergi ke mana-mana, namun mereka telah menemukan hidup bahkan cinta sekaligus, sementara Ikal yang telah mencapai sudut-sudut dunia merasa tak menemukan apa-apa, tak juga cintanya.
Setelah belasan tahun berlalu, persahabatan mereka tetap abadi bahkan dalam setiap kesulitan yang dihadapi Ikal, sahabat-sahabatnyalah yang jadi juru selamat. 'That's what friends are for', sesuai dengan ungkapan yang dicuplik dari sebuah lirik lagu.

Titik terang keberadaan A Ling mulai terlihat setelah seorang nelayan menemukan sejumlah mayat mengambang di laut. Tanda fisik berupa tato kupu-kupu hitam di tubuh mayat mengingatkan Ikal pada sosok kekasihnya itu yang ternyata memiliki tanda serupa.
Berdasarkan analisa dan insting maka sampailah Ikal pada sebuah dugaan, A Ling berada di Pulau Batuan, sebuah gugusan pulau-pulau kecil yang sangat strategis bagi para pendatang haram untuk menyeberang ke Singapura. Di sekitar pulau inilah berkuasa para lanun (bajak laut) yang terkenal bengis dan tak segan mencabut nyawa orang.

Bukan perkara mudah untuk mencapai Pulau Batuan karena tiada satu pun perahu nelayan yang berani melaut ke sana, tidak juga untuk sekadar mendekati. Satu-satunya cara adalah membuat perahu sendiri, tetapi mungkinkah itu? Diperlukan bukan hanya uang dan tenaga tapi juga keahlian membuat perahu. Meleset sedikit saja perhitungan, perahu bukannya meluncur di air malah membatu dan tenggelam. Dan untuk yang satu ini rupanya Ikal tak punya keahlian sama sekali.
Namun bukan Ikal namanya kalau gampang menyerah. Demi A Ling apa pun dan siapa pun tak akan mampu menghalangi tekadnya yang telah membatu itu. Dari sinilah kawan, kesulitan demi kesulitan menghadangnya, bahkan tak sedikit orang-orang di sekitar mencapnya sinting. Ikal menghadapi sebuah pertaruhan besar dan bertekad untuk memenangkannya. Sekali lagi pertolongan dari sahabat sejati terutama Lintang dan Mahar yang membuatnya lolos dari kesulitan-kesulitan itu.

Novel ini rupanya ingin menggaris bawahi sebuah pesan, janganlah engkau takut bermimpi. Tiada sesuatu hal yang mustahil dilakukan asal dilakukan dengan tekad baja dan semangat pantang menyerah, karena bukankah Tuhan selalu beserta para pemberani?
Kata demi kata mengalir bak sihir seperti melarang kita menutup buku, menyudahi membaca sebelum mencapai kata akhir. Inilah kepiawaian Andrea dalam memilih kata-kata yang telah teruji di 3 buku sebelumnya.

Tentu saja tiada gading yang tak retak, seperti juga dengan buku Maryamah Karpov ini. Ada beberapa hal yang mengganjal setelah selesai membaca, antara lain tidak ditemukannya hubungan langsung antara judul dan bangunan cerita secara keseluruhan. Maryamah Karpov di sini digambarkan sebagai seorang perempuan yang biasa dipanggil mak cik, mendapat tambahan nama belakang karena sering terlihat di perkumpulan jago-jago catur di warung kopi Usah Kau Kenang Lagi dan mengajari orang langkah-langkah a la Karpov. Nama ini terkesan tempelan saja, artinya tanpa tokoh ini pun tak akan mengubah jalan cerita. Aku menghitung tidak lebih hanya 3 kali saja nama perempuan ini disebut. Entah alasan apa yang membuat Andrea Hirata memberi judul seperti itu. Aku rasa judul Mimpi-Mimpi Lintang jauh lebih sesuai.

Ada juga hal yang ganjil pada saat Ikal menemukan bangkai perahu lanun di dasar sungai Linggang. Keputusan untuk meng'kanibal'kan material kayu kapal lanun demi menyempurnakan haluan perahu Mimpi-Mimpi Lintang—Ikal memberi nama perahunya seperti itu untuk menghormati sahabatnya—rasanya sesuatu yang tak masuk di akal. Mana mungkin seorang Ikal yang notabene seorang berpendidikan tinggi mengabaikan nilai historis sebuah perahu yang telah karam ratusan tahun lalu hanya demi ambisi membangun perahu baru.

Terlepas dari adanya beberapa kekurangan di atas, buku ini tentu mempunyai banyak keistimewaan dan memang layak menjadi bacaan wajib terutama bagi teman-teman yang sudah membaca 3 buku sebelumnya sekaligus untuk menjawab pertanyaan berikut:
Mampukah Ikal menemukan A Ling? Dan bagaimanakah akhir kisah cinta dua anak manusia ini, bisakah mereka bersatu dalam maghligai rumah tangga? Jawabannya bisa kalian dapatkan setelah membaca buku setebal 504 halaman ini. Selamat membaca!

Oleh : arild_94 (dianingratri.multiply.com)

Novel : "Edensor"

Judul buku : EDENSOR
Penulis : Andrea Hirata
Cetakan : Pertama, Mei 2007
Penerbit : PT. Bentang Pustaka
Tebal : xii + 290 halaman




Hidup dan nasib, bisa tampak berantakan, misterius, fantastis dan sporadic, namun setiap elemennya adalah sub system keteraturan dari sebuah desain holistic yang sempurna. Menerima kehidupan berarti menerima kenyataan bahwa tak ada hal kecil apapun terjadi karena kebetulan. Ini fakta penciptaan yang tidak terbantahkan.


Rangkaian kata di atas di kutib oleh Andrea Hirata dari pemikiran Harun Yahya yang dijadikannya sebagai kalimat pembuka pada buku yang berjudul Edensor, buku ketiga dari tetralogi laskar pelangi. Tetralogi laskar pelangi menceritakan rangkaian perjalanan seorang anak yang bernama “ikal” dan sekelompok teman masa kecilnya yang memiliki mimpi dan berjuang untuk memujudkannya. Keterbatasan ekonomi, jarak dan akses terhadap layanan pendidikan tidak memupus semangat mereka untuk bisa bersekolah, tak perduli seberapa besar rintangan yang akan mereka lalui. Pada akhirnya hanya dua orang anak yang tersisa, yang masih tetap berjuang mewujudkan mimpi untuk menaklukkan samudra kehidupan.

Andrea Hirata adalah penulis muda yang tidak memiliki latar belakang jusnalistik tetapi memiliki kemampuan untuk menguak berbagai realita kehidupan dan menyarikannya menjadi sebuah tulisan yang apik dan mampu menggugah ketersadaran nurani setiap pembacanya. Buku ini diterbitkan pertama kali pada Mei 2007 oleh PT. Bentang Pustaka, telah menjadi best seller Indonesia dan terdapat hampir diseluruh toko-toko buku di Indonesia.

Edensor mengulas tentang perjalan hidup Andrea dan Arai, saudara sekaligus teman seperjalanannya yang telah melalui banyak episode kehidupan, suka maupun duka.
Pertemuannya dengan Weh, lelaki yang harus menanggung aib karena menderita penyakit burut, penyakit nista yang disebabkan oleh ulah nenek moyangnya yang telah berani melanggar aturan agama. Weh yang telah mengajarkannya cara membaca bintang, mengurai langit sebagai kitab terbentang serta membawanya pada satu pemahaman tentang konstelasi zodiak. Zenit dan nadir, pesan terakhir yang ditinggalkan Weh sebelum kematiannya. Weh adalah orang pertama yang telah mengenalkan Adrea pada diri sejatinya, dan telah menguatkan tekat Andrea untuk menjelajahi separuh belahan dunia, berjalan di atas tanah-tanah mimpi, dan menemukan cinta yang sesunguhnya. Pelajaran yang tidak akan ditemukan di bangku pendidikan formal, karena hanya kekuatan semesta yang mampu menguak realita kehidupan.

Tawaran beasiswa dari Uni Eropa telah menjadi sebuah jembatan keberuntungan (magical bridge) yang menghantar mereka pada penjelajahan panjang di tanah-tanah mimpi, menjadi sebuah kunci yang telah membuka kotak pandora yang berisi mimpi-mimpi masa kecil mereka. Sebuah kerinduan untuk berbuat sesuatu bagi tanah kelahiran, memberikan kebanggaan bagi orangtua dan menyelesaikan mimpi-mimpi para sehabat yang telah terenggut oleh keterbatasan dan jerat kemelaratan.

Universitas Sorbonne Perancis, telah menghantar mereka pada pertemuan dan persahabatan dengan mahasiwa dari berbagai belahan dunia dengan beragam latar belakang. Kehidupan bangsa eropa yang terkenal intelektual, dinamis dan efisien telah menunjukkan pada berbagai realita betapa rendahnya kualitas serta sistem pendidikan bangsa Indonesia. Hanya semangat dan tekad yang kuat yang mampu menghantar mereka pada sebuah keberanian untuk menjadi bagian dari sistem pendidikan yang modern. Kesenjangan tingkat pemahaman dan pengetahuan mengharuskan dua sobat karib ini berjuang untuk menyelesaikan pendidikan mereka.

Keindahan benua eropa dan gemerlapnya dunia malam kota Paris memberikan daya tarik bagi siapapun yang melihatnya. Namun, tradisi dan etika back packer Kanada sangat menarik perhatian Andrea bahkan lebih menarik dibadingkan Katya. Mahasiswi jerman yang telah menolak cinta banyak pemuda dan memilih Andrea menjadi kekasihnya. Meskipun pada akhirnya perbedaan makna tentang mencintai telah membawa mereka kembali pada jalinan pertemanan. Kerinduan Andrea pada A Ling, perempuan masa kecil yang sangat dicintainya telah menguakkan kembali ingatannya tentang Edensor. Sebuah desa khayalan pada sebuah novel pemberian A Ling, karya Herriot yang berjudul Seandainya Mereka Bisa Bicara.

Hamparan dataran hijau, bunga daffodil dan semerbak aroma rerumputan telah membawa andrea bekelana ke setiap sudut desa. Desa khayalan yang telah membuka jalan rahasia dalam kepala Andrea, jalan menuju penaklukan-penaklukan terbesar untuk menemukan A Ling, untuk menemukan cinta dan diri sejatinya. Andrea dan Arai berencana untuk melakukan perjalanan keliling benua Eropa mengikuti tradisi para pengelanan back packer Kanada. Rencana perjalanan panjang ini mendapat respon yang serius dari para sahabat, yang akhirnya dijadikan sebagai ajang pertaruhan untuk mengukur keberanian untuk menahklukkan tantangan. Penjelajahan panjang menjelajahi benua eropa dengan bermodal semangat dan keberanian.

Perjalanan dimulai dari kota Paris Perancis melintasi benua Eropa dan berakhir di Spanyol. Pencarian Andrea akan cinta masa kecil telah membawa mereka melintasi rute perjalanan yang panjang melintasi benua Eropa hingga Tunisia, Zaire dan Casablanca di benua Afrika. Rasa lapar, kelelahan serta ancaman kematian karena kedinginan tidak menyurutkan semangat dan keberanian Andrea untuk menjelajahi enigma tentang A Ling yang kini menjadi semakin terang.

Kota demi kota menghadirkan beragam realita yang semakin memperjelas makna pencarian Andrea. Sekuat apapun upaya untuk menemukan sesuatu, dan pada titik akhir upaya tersebut masih belum berhasil sesungguhnya kita sedang dihadapkan pada berbagai realita tentang diri kita. Pencarian cinta pada sosok perempuan bernama A Ling telah memberikan pembelajaran tentang makna cinta sejatinya, yaitu diri sendiri. Keberanian untuk bermimpi telah menghantar kita pada satu realita yang mengajarkan kita arti kebahagiaan yang sesungguhnya.

Edensor, membawa kita pada perjalanan yang tidak hanya membawa kita pada tempat-tempat yang spektakuler, tidak hanya memberi kita tantangan ganas yang menghadapkan pada cinta putih, tetapi mampu membawa kita pada satu kesadaran kesejatian diri manusia. Toleransi, daya tahan dan integritas bukanlah hal yang dapat ditawar-tawar dalam keadaan apapun. Dibutuhkan semangat, kemauan dan daya juang tinggi untuk menghidupi setiap mimpi hingga mewujud dalam sebuah realita kehidupan.



Oleh : www.bukuku-resensi.blogspot.com

Novel : "Sang Pemimpi"

Judul : Sang Pemimpi
Pengarang : Andrea Hirata
Penerbit : Bentang Pustaka
Tebal : x + 295 lembar







Ini adalah buku kedua dari tetraloginya Andrea Hirata. Ending yang sangat mengesankan, hmm.. aku suka. Alurnya bagus, menarik. Tema cerita yang sederhana tapi terbungkus kalimat-kalimat yang wow penuh makna. Tapi sayangnya ini kurang ada sinergi dengan buku pertama, yang namanya tetralogi kan ada 4 buku, harusnya seh ada kesinambungan yang bagus. Memang, Laskar Pelangi masih sedikit disebut-sebut, tapi belum mewakili kesinambungan yang bagus. Berhubung sudah terbuai sosok Arai, Ikal dan Jimbron. So finally ga masalh lah. PAsti novelnya sangat berkesan dan begitu menggugah.

“3 Seorang pemimpi. Setelah tamat SMP, melanjutkan ke SMA Bukan Maen. Disinilah perjuangan dan mimpi ketiga pemberani ini dimulai. Ikal, salah satu dari anggota Laskar Pelangi, Arai, saudara sepupu Arai yang sudah yatim piatus ejak SD dan tinggal di ruamh Ikal, sudah dianggap seperti anak sendiri oleh Ayah danIbu Ikal. Dan Jimbron, anak angkat seorang pendeta karena yatim piatu juga sejak kecil. Namun pendeta yang sangat baik dan tidak memaksakan keyakinan Jimbron, malah mengantarkan Jimbron menjadi muslim yang taat.

Arai dan Ikal begitu pintar dalam sekolahnya, sednagkan Jimbron, si penggemar kuda ini biasa-biasa aja. Malah menduduki rangking 78 dari 160 siswa. Sedangkan Ikal dan Arrai selalu menjadi 5 3 besar. Mimpi mereka sangat tinggi, karena bagi Arrai, orang susah seperti mereka tidak akan berguna tanpa mimpi-mimpi. Mereka berdua mempunyai mimpi yang tinggi yaitu melanjutkan study ke SArbonne Perancis. Mereka terpukau dengan cerita Pak Beia, guru seninya, yang selalu meyebut-nyebut indahnya kota itu. Kerja keras, menjadi kuli ngambat mulai pukul 2 pagi sampai jam 7 dan dilanjutkan dengan sekolah, itulah perjuangan ketiga pemuda itu. Mati-matian menabundemi mewujudkan impiannya. Ya, meskipun kalau dilogika, tabungan mereka tidak akan cukup untuk samapi kesana. Tapi jiwa optimisme Arai tak terbantahkan.

Setelah selesai SMA, Ari dan Ikal merantai ke Jawa, Bogor tepatnya. Sedangkan Jombron lebih emmilih untuk menjadi pekerja di ternak kuda di Belitong. Jimbron menghadiahkan kedua celengan kudanya yang berisi tabungannya selama ini kepada Ikal dan Arai. Dia yakin kalau Arai dan Ikal spai di Perancis, maka jiwa Jimbronpun akan selalu ebrsama mereka. Berbula-bulan terkatung0katung di Bogor, mencari pekerjaan untuk bertahan hidup susahnya minta ampun. Akhirnya setelah banyak pekerjaan tidak bersahabat ditempuh, Ikal ketrima menjadi tukang sortir (tukang Pos), dan Arai memutuskan untuk merantau ke kAlimantanTahun berikutnya, Ikal memutuskan untuk kuliah di Ekonomi UI. DAn setelah lulus, ada lowongan untuk mendapatkan biasiswa S2 ke Eropa. Beribu-ribu pesaing berhasil ia singkirkan dan akhrinya sampailah pada pertandingan untuk memperebutkan 15 besar.

Saat wawancara tiba, tidak disangka, profesor pengujia begitu terpukau dengan proposal riset yang diajukan Ikal, meskipun ahanya berlatar belakang sarjana Ekonomi yang amsih bekerja sebagai Tukang Sortir, tulsiannya begitu hebat. Akhirnya setelah wawancara selai, siap yang menyangka. KEjutan yang luar biasa. Warai pun ikut dalam wawancara itu. Bertahun-tahun tanpa kabar berita, akhirnya mereka berdua dipertemukan dalams uatu forum yang begitu indah dan terhormat. Begitulah Arai, selalu penuh dengan kejutan. Semua ini sudha direncanaknnya bertahun-thaun. TErnyata dia kuliah di Universitas Mulawarman dan mengambil jurusan Bilogi. Tidak kalah dengan Ikal, proposal Risetnya juga begitu luar biasa dan berbakat untuk menghasilkan teori baru.

Akhirnya sampai juga mereka pulang kampung ke Blitong. Dan ketika ada surat datang, merka berdebar-debar membuka isinya. PEngumuman peberima Beasiswa ke Eropa. Arai begitu sedih karena dia sangat merindukan kedua orang tuanya. Sangat ingin emmbuka kabar tu bersama orang yang sanagt dia rikan. Kegelisahan dimulai. Tidak kuasa mengetahui isi dari surat itu. Akhirnya Ikal ketrima di Perhuruan tinggi, Sarbone PErnacis. Setelah perlahan mencocokkan dengan surat Arai, Subhannallah, inilah jawaban dari mimpi2 mereka. Kedua sang pemimpi ini diterima di Universitas yang sama. Tapi ini bukan akhir dari segalanya. Disinilah perjuanagan dari mimpi itu dimulai, dan siap melahirkan anak-anak mimpi berikutnya.

Waw, seru banget deh bacanya.aasampe terharu dan pengen netesi air mata.





Oleh : www.melayu-online.com
Template Design by faris vio